Mengapa Kamu Harus Berpikir Ulang Sebelum Berinvestasi di Deposito, Reksadana, Sukuk, dan Surat Utang?
Pernahkah Kamu Berpikir Ulang Tentang Investasi yang Terlihat Aman?
Banyak orang memilih deposito, reksadana, sukuk, atau surat utang karena dianggap sebagai instrumen investasi syariah atau paling tidak minim risiko. Tapi, mari kita bongkar satu per satu secara ilmiah, realistis, dan dari kacamata Islam — agar kamu bisa mengambil keputusan finansial yang lebih cerdas.
1. Return yang Tidak Mengimbangi Inflasi
Deposito di bank syariah atau konvensional rata-rata memberikan return sekitar 3-4% per tahun. Padahal, inflasi Indonesia tahun 2022–2024 berkisar antara 4-5%. Artinya, nilai riil uangmu justru tergerus waktu demi waktu.
Contoh: Jika kamu simpan Rp100 juta di deposito dengan imbal hasil 4% per tahun, maka kamu dapat Rp104 juta di akhir tahun. Tapi jika inflasi 5%, maka nilai riil uangmu hanya sekitar Rp99 juta.
2. Risiko Sistemik dan Kebangkrutan
Banyak orang menganggap sukuk dan surat utang pemerintah itu aman karena “dijamin negara”. Tapi krisis ekonomi 1998, 2008, hingga pandemi COVID-19 membuktikan bahwa negara pun bisa goyah.
Contoh nyata: Kasus Jiwasraya dan Asabri di Indonesia, di mana dana pensiun yang dialokasikan ke surat utang menyebabkan kerugian besar bagi nasabah.
3. Biaya Tersembunyi di Reksadana
Manajer investasi reksadana mengambil fee antara 1-3% per tahun. Jika reksadana kamu menghasilkan 8% per tahun, dikurangi biaya 3%, maka return bersih hanya 5%. Setelah pajak dan inflasi, bisa negatif.
4. Dari Kacamata Islam: Riba & Gharar
Deposito syariah kadang menyamarkan skema riba dengan akad mudharabah yang tak sesuai praktik. Sukuk juga sering hanya obligasi yang dibungkus halal, padahal akad dan praktiknya mengandung gharar dan riba terselubung.
5. Ilusi Keamanan: Dijamin LPS?
Deposito dijamin LPS hanya sampai Rp2 miliar per nasabah per bank. Jika simpananmu lebih dan bank kolaps, kelebihannya tidak dijamin. Proses klaim pun bisa makan waktu lama.
Alternatif Investasi yang Lebih Baik & Sesuai Syariah
1. Bisnis Riil dan Kemitraan
Islam sangat menganjurkan investasi produktif seperti berdagang atau modal usaha berbasis bagi hasil.
Contoh: Modal usaha makanan Rp10 juta dengan perjanjian bagi hasil 60:40. Risiko dan untung dibagi adil.
2. Saham Syariah
Saham yang masuk Daftar Efek Syariah (DES) halal secara struktur dan potensi return-nya jauh lebih besar dari deposito atau sukuk.
Contoh: UNVR, ICBP, KLBF — saham-saham di indeks ISSI dan JII yang halal dan potensial.
3. Emas Fisik
Emas adalah pelindung nilai dari inflasi dan bisa disimpan secara fisik atau digital berbasis syariah.
Contoh: Beli emas Antam 10 gram seharga Rp8 juta (2020), jadi Rp11-12 juta (2024).
4. Properti Produktif
Investasi properti seperti kos, ruko, atau kontrakan bisa menghasilkan passive income halal dari akad ijarah (sewa).
Contoh: Beli rumah Rp300 juta, disewakan Rp2 juta/bulan — balik modal 15 tahun dan tetap ada aset.
5. P2P Lending Syariah
Platform syariah seperti Ammana & ALAMI memberi imbal hasil 10–15%/tahun ke UMKM dengan akad wakalah atau mudharabah.
Kesimpulan: Jangan Terjebak Label “Aman” atau “Syariah”
Investasi seperti deposito, reksadana, sukuk, atau surat utang memang terlihat menggiurkan. Tapi jika kamu gali lebih dalam, ternyata banyak jebakan yang membuat uangmu stagnan, bahkan tergerus.
Dalam Islam, prinsip investasi bukan hanya aman atau halal secara label, tapi juga adil, produktif, dan bebas eksploitasi. Mulai sekarang, perbanyak literasi dan beralihlah ke alternatif yang lebih menguntungkan dan berkah.
Jadilah investor cerdas: yang tak hanya cari profit, tapi juga keberkahan.